Minggu, 28 April 2013

MASALAH-MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA



Upaya untuk mewujudkan visi dan misi pendidikan yang mampu menunjang dalam dalam kehidupan dunia kerja dan kemajuan bangsa mengalami kesulitan jika berbagai masalah dalam proses pendidikan muncul. Masalah dapat diartikan sebagai kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi. Jika apa yang terjadi atau yang tercapai dalam pendidikan tidak seperti yang diharapkan maka masalah pendidikan telah terjadi.
Masalah-masalah pendidikan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu:  masalah partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan, masalah efisiensi, masalah efektivitas, dan masalah relevansi pendidikan (Redja Mudyahardjo, 2010: 496).
2.1.1 Masalah partisipasi pendidikan
Masalah partisipasi atau kesempatan memperoleh pendidikan adalah rasio atau perbandingan antara masukan pendidikan (raw input) atau jumlah penduduk yang tertampung dalam satuan-satuan pendidikan. Keberadaan masalah ini dapat diketahui dari individu-individu yang mestinya menjadi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu tetapi kenyataannya tidak demikian. Misalnya saja di berbagai daerah masih banyak anak-anak yang mestinya menjadi peserta didik pada satuan pendidikan TK tetapi belum menjadi bagian dari satuan pendidikan tersebut. Hal demikian tentunya akan menimbulkan masalah pada saat mereka masuk sekolah dasar. Demikian juga banyaknya individu lulusan SMA yang tidak melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi. Untuk bekerja mereka belum memiliki bekal yang mamadai.
2.1.2 Masalah efisiensi pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan berkenaan dengan proses pengubahan atau transformasi masukan produk (raw input) menjadi produk (output). Salah satu cara menentukan mutu transformasi pendidikan adalah mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikian (educational wastage), dalam arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yang putus sekolah, meng-ulang atau selesai tidak tepat waktu.
Jika peserta didik sebenarnya memiliki potensi yang memadai tetapi mereka tidak naik kelas, putus sekolah, tidak lulus berarti ada masalah dalam efisiensi pendidikan. Masalah efisiensi pendidikan juga terjadi di perguruan tinggi. Masalah tersebut dapat diketahui dari adanya para mahasiswa yang sebenarnya potensial tetapi putus kuliah dan gagal menyelesaikan pendidikannya pada waktu yang tepat.
2.1.3 Masalah efektivitas pendidikan
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan rasio antara tujuan pendidian dengan dengan hasil pendidikan (output), artinya sejauh mana tingkat kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dihasilkan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pendidikan merupakan proses yang bersifat teleologis, yaitu diarahkan pada tujuan tertentu, yaitu berupa kualifikasi ideal. Jika peserta didik telah menyelesaikan pendidikannya namun belum menunjukkan kemampuan dan karakteristik sesuai dengan kualifiksi yang diharapkan berarti adalah masalah efektivitas pendidikan.



1.1.4         Masalah relevansi pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja
Dari ke empat masalah pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, hanya masalah partisipasi yang sekarang mengecil. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya warga masyarakat akan pentingnya pendidikan dan semakin banyaknya satuan-satuan pendidikan yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Sedangkan ketiga masalah pendidikan berikutnya, yaitu masalah efisiensi, efektivitas, dan relevansi sampai sekarang masih terjadi dan ada kecenderungan bahwa masalah-masalah pendidikan tersebut semakin besar. Ketiga masalah pendidikan tersebut tidak saling terpisahkan. Masalah efiseinsi berpeluang menimbulkan masalah efektivitas, dan selanjutnya berpeluang pula menimbulkan masalah relevansi.
Masalah pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang serius. Bukti untuk hal itu dapat disimak dari peringkat Human Development Index (HDI) yang dipantau oleh UNDP yang menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia dari tahun 1996 bearada pada eringkat 102 dari 174 negara, tahun 1999 peringkat 105 dari 174 negara, dan tahun 2000 peringkat 109 dari 174 negara dan dalam prestasi belajar yang dipantau oleh IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di bidang kemampuan membaca siswa SD, Indonesia berada pada urutan ke-26 dari 27 negara; kemampuan matematika siswa SLTP berada di urutan 34 dari 38 negara; kemampuan bidang IPA siswa SLTP berada pada urutan ke 32 dari 38 negara.
Ada beberapa cara mengatasi masalah-masalah Pendidikan seperti tersebut di atas, antara lain:
1.             Tenaga Kependidikan sebagai figur utama proses pendidikan
Masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan merupakan masalah yang sangat mendesak untuk mendapatkan pemecahan. Sebab jika masalah tersebut dibiarkan agar lahir generasi-genarasi penerus yang yang tidak bisa diandalkan untuk menghadapi kompetisi global. Jika hal demikian betul-betul terjadi maka bangsa Indonesia akan semakin terpuruk.
Upaya memecahkan masalah pendidikan hendaknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem. Dengan pendekatan ini pendidikan dipandang sebagai suatu sistem, suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan.
Dari berbagai komponen system pendidikan, yaitu : peserta didik (raw input), instrumental inpu,t termasuk di dalamnya tenaga kependidkian, dan environmental input, dari perspektif manajemen pendidikan komponen tenaga kependidikan merupakan komponen yang penting untuk dibahas. Sampai sekarang dan juga untuk waktu-waktu yang akan datang figur tenaga kependidikan, termasuk para guru, kepala sekolah, dosen, dan pimpinan perguruan tinggi merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan meskipun konsep yang dianut sekarang adalah pendidikan berpusat pada peserta didik. Fakta menunjukkan bahwa meskipun raw input berkualitas tetapi jika ada masalah pada tenaga kependidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan rendahnya kualitas output .

2.             Tenaga kependidikan sebagai manajer pendidikan
Tenaga kependidikan, terutama kepala sekolah atau pimpinan institusi pendidikan merupakan manajer-manajer pendidikan. Sebagai manajer pendidikan tugas utama mereka adalah mengupayakan agar kegiatan pendidikan dapat menghasilkan tujuan-tujuan pendidikan secara efektif dan efisien, melalui proses yaitu manajemen pendidikan.
Menurut Terry (Ngalim Purwanto, 2006: 7), manajemen adalah suatu proses tertentu yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya. Jika proses tersebut dilakukan dalam bidang pendidikan dan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan maka disebut sebagai manajemen pendidikan.
Manajemen merupakan inti dari administrasi (Ngalim Purwanto, 2006: 8). Sedangkan administrasi pendidikan adalah proses pengerahan dan pengintegrasian segala sesuatu, baik personil, spiritual, maupun matrial, yang bersangkuta paut dengan pencapaian tujuan pendidikan (Ngalim Purwanto, 2006: 3). Dengan demikian setiap tenaga kependidikan berperanan sebagai administrator. Dan sebagai administrator dirinya harus mampu berperan sebagai manajer pendidikan.
3.             Masalah pendidikan dan kualitas manajemen pendidikan
Dari perspektif manajemen pendidikan, masalah pendidikan dapat terjadi jika kepala sekolah dan juga para guru tidak mampu menjadi manajer-manajer pendidikan yang baik. Masalah tersebut bisa saja terjadi karena : a. dirinya tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai konsep-konsep manajemen pendidikan, b.dirinya kurang memahami konsep-konsep dasar pendidikan, dan c. dirinya tidak atau kurang memiliki kemampuan dan karakteristik sebagai manajer pendidikan, sehingga tidak mampu menjalankan peran sesuai dengan statusnya. Masalah kualitas manajer pendidikan seperti itu bisa terjadi karena kesalahan dalam penempatan. Seorang yang sebenarnya belum atau tidak siap untuk menjadi pemimpin karena faktor tertentu dia diangkat menjadi kepala sekolah.
Masalah-masalah pendidikan juga dapat terjadi jika para pemimpin institusi pendidikan lebih banyak menempatkan dirinya sebagai kepala dan bukan sebagai pemimpin. Sebagai kepala mereka bertindak sebagai penguasa, hanya bertanggung jawab pada pihak atasan, dan melakukan tugas-tugas karena perimintaan atasan. Jika kepala sekolah lebih banyak bertindak sebagai kepala maka dirinya akan kesulitan memberdayakan semua personal yang ada agar tujuan pendidikan tercapai.
4.             Solusi terhadap masalah pendidikan dengan manajemen kinerja guru
Jika masalah-masalah pendidikan disebabkan oleh faktor manajemen maka upaya yang paling tepat untuk mencegah dan mengatasi adalah dengan meningkatkan kualitas manajemen pendidikan. Kualitas manajemen dapat meningkat jika para manajer-manajer pendidikan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya.
Seringkali terlontar pernyataan bahwa kualitas pendidikan sulit untuk ditingkatkan karena kurangnya dukungan dana. Namun ada fakta yang menunjukkan bahwa dana yang cukup bahkan lebih ternyata tidak berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan. Hal demikian dapat terjadi karena kepala sekolah tidak atau kurang mampu memberdayakan semua sumber yang ada, khususnya sumber daya manusia. Demikian juga halnya dengan peranan guru di sekolah sebagai manajer pendidikan, hambatan yang terjadi adalah kurangnya kemampuan untuk memberdayakan semua sumber belajar yang ada agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Untuk mengatasi masalah di atas salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah melalui peningkatan manajemen kinerja kepala sekolah dan guru. Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management) yang baik.

2.2 Relevansi antara Pendidikan dengan Dunia Kerja
            Era digitalisasi yang menjadi ciri khas dalam industrialisasi harus diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia agar memiliki daya saing yang tinggi. Era ini juga sering disebut sebagai era globalisasi, yang menurut Suyanto (2001: 25) sebagai era yang berkerangka tulang persaingan bebas, berdarah daging kekuatan sumber daya manusia dan rohnya adalah mutu pada berbagai aspek tatanan. Dalam masyarakat terbuka dituntut manusia unggul agar dapat survive dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian dan kompetisi ketat.
Pengembangankualitas SDM komponen utamanya adalah pendidikan, namun pada kenyataannya masih menghadapi permasalahan, diantaranya mutu pendidikan yang masih rendah. Menurut Ginandjar Kartasasmita (1996:299-300), mutu pendidikan dikaitkan dengan perubahan yang cepat di dunia kerja. Di dunia kerja saat ini menuntut seseorang mempunyai kompetisi tinggi sesuai dengan perubahan jenis pekerjaan dan perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi. Siapapun yang mempunyai daya saing dan kompetensi tinggi, dialah yang dapat mengisi lowongan pekerjaan yang bergengsi (bankir, apoteker, dokter, lawyer, ekonom, teknorat, dosen, peneliti).
Mutu pendidikan sebagai suatu proses belajar mengajar cirinya adalah yang dididik akan lebih mampu menyesuaikan diri dengan dunia kerja, memiliki keterampilan intelektual untuk menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Pendidikan berbasis mutu merupakan sinergi antara organisasi yang sehat dan manajemen aktif, yang menghasilkan mutu proses pembelajaran, mutu lulusan dan mutu pelayanan. Mutu juga dikaitkan dengan relevansi lulusan pendidikan, produk yang dihasilkan dari institusi pendidikan apakah mempunyai nilai kompetensi yang tinggi atau rendah dalam menghadapi persaingan global yang sangat ketat ini. Di sinilah perlunya link and match yang pernah dicetuskan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Pengajaran Wardiman Djojonegoro.
2.2.1 Rendahnya Tingkat Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan Dunia Kerja
Kualitas pendidikan masih rendah berkolerasi dengan tingkat kompetensi, yang mengakibatkan jumlah pengangguran terus bertambah. Investasi di bidang pendidikan masih terlalu mahal terutama bagi masyarakat miskin, akibatnya tidak dapat mengakses pendidikan yang bermutu (identik dengan biaya tinggi). Masyarakat miskin sebagian masih menilai bahwa pendidikan terlalu mahal, dan belum memberikan manfaat yang signifikan dengan sumber daya yang dikeluarkan. Oleh karena itu pendidikan belum menjadi pilihan investasi bagi masyarakat miskin.
Mutu lulusan rendah dan tidak sesuai dengan dunia kerja yang tersedia . terjadilah pengangguran intelektual yang setiap tahun terus bertambah, dan tragisnya tenaga kerja yang temat SD paling banyak berasal dari masyarakat miskin. Kondisi rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja berarti tidak ada  link and match  seperti yang pernah dicetuskan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Pengajaran Wardiman Djojonegoro.  
Pengangguran dari lulusan merupakan hal yang memang harus diantisipasi setiap lembaga pendidikan, agar makna pendidikan di mata masyarakat memiliki arti sebagai sesuatu yang berguna serta bermanfaat dalam memasuki dunia kerja. Salah satu upaya untuk itu, harus ada relevansi antara pendidikan dengan kondisi dunia kerja yang terus mengalami perkembangan semakin ketat.
Sebelum kita ulas lebih jauh, mari kita kaji tentang makna atau arti dari relevansi. Secara umum, arti dari relevansi adalah kecocokan. Relevan adalah bersangkut paut, berguna secara langsung (kamus bahasa Indonesia). Relevansi berarti kaitan, hubungan (kamus bahasa Indonesia). Menurut Green (1995: 16), relevansi ialah sesuatu sifat yang terdapat pada dokumen yang dapat membantu
pengarang dalam memecahkan kebutuhan akan informasi. Dokumen dinilai
relevan bila dokumen tersebut mempunyai topik yang sama, atau berhubungan
dengan subjek yang diteliti (topical relevance).
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan arti secara sederhana mengenai relevansi, yaitu suatu kondisi yang mengalami kesesuaian atau kecocokan dengan kondisi yang lain. Yang menuntut akan terjadinya sinkronisasi atau keterdukungan dari suatu kondisi terhadap kondisi yang lain
kita ambil contoh, mengenai pendidikan di Perguruan Tinggi dengan dunia kerja. Artinya, ada suatu harapan ketika seorang lulusan dari perguruan tinggi ketika terjun dalam dunia kerja. Pengetahuan yang telah didapat dari Perguruan Tinggi diharapkan mampu menjadi bekal atau modal ketika memasuki dunia kerja. Bekal dalam arti apa yang telah di perdalam dalam perguruan tinggi mampu menjadi pendukung setiap profesi yang di geluti.
Pengertian yang kedua, bahwa jenjang pendidikan yang telah ditempuh di perguruan tinggi sesuai atau tidakkah dengan profesi yang telah dijalankan ketika memasuki dunia kerja. Misalnya, lulusan Sarjana Hukum setidaknya profesi yang geluti adalah sebagai seorang hakim, pengacara, notaris, atau lainnya yang berkaitan dengan hal itu. Lulusan ekonomi, minimal berprofesi sebagai akunting, sekretaris, manajer, dll yang sejenis.
Mengenai relevansi antara pendidikan di perguruan tinggi dengan dunia kerja, ada beberapa aspek yang perlu di kaji. Baik mengenai seberapa mendukungkah perguruan tinggi dalam mempersiapkan lulusan yang memiliki bekal untuk terjun ke dunia kerja, seberapa banyakkah daya dukung perguruan tinggi dalam mempersiapkan lulusan yang mampu sesuai dengan realitas dunia kerja, dan ada atau tidakkah peran serta perguruan tinggi dalam memberikan pengetahuan yang bisa diterapkan dalam dunia kerja.
Beberapa aspek kajian yang menjadi masalah ketika kita membicarakan masalah relevansi antara pendidikan dengan dunia kerja ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Dalam rangka meningkatkan relevansi pendidikan diperlukan pengembangan kurikulum yang relevan dengan pangsa pasar/dunia kerja. Investasi juga dilakukan untuk pengembangan satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah, dan pendidikan nonformal, dan pendidikan tinggi. Pendidikan kejuruan, vokasi, dan profesi membutuhkan professional lebih tinggi, dan perlu ada penguatan agar lulusannya dapat memenuhi tuntutan lapangan kerja dan standar kualifikasi kerja (Isjoni, 2006).
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja. Realitas lain mengenai relevansi ini, ternyata masih adanya lulusan Perguruan Tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang ada. Misal, masih adanya lulusan FISIP yang justru menjadi tenaga pendidik, lulusan pertanian pun ada yang juga menjadi pendidik. Yang kalau kita telaah secara ilmu kependidikan mereka sangat asing atau belum memahami secara menyeluruh.
Kita kembali ke atas, mengenai tiga aspek yang diulas dalam makalah ini bahwa dapat di tarik suatu pernyataan bahwa memang pendidikan sangat mendukung dalam hal pengetahuan untuk menciptakan lulusan yang siap dalam dunia usaha. Kedua, jika ditanya seberapa besarkah daya dukung tersebut, tentu banyak faktor yang memang harus dibenahi jika kita ingin mengharapkan daya dukung yang maksimal dari pendidikan. Dan ketiga, ada atau tidakkah peran pendidikan,  ini bisa kita jawab ketika kita mampu menyimpulkan dua pernyataan di atas bahwa otomatis keberadaan pendidikan untuk menjadi pendukung dalam mempersiapkan lulusan untuk terjun dalam dunia kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar