Upaya untuk mewujudkan visi dan misi pendidikan yang
mampu menunjang dalam dalam kehidupan dunia kerja dan kemajuan bangsa mengalami
kesulitan jika berbagai masalah dalam proses pendidikan muncul. Masalah dapat
diartikan sebagai kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang
terjadi. Jika apa yang terjadi atau yang tercapai dalam pendidikan tidak
seperti yang diharapkan maka masalah pendidikan telah terjadi.
Masalah-masalah pendidikan di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi 4, yaitu: masalah
partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan, masalah efisiensi, masalah
efektivitas, dan masalah relevansi pendidikan (Redja Mudyahardjo, 2010: 496).
2.1.1
Masalah
partisipasi pendidikan
Masalah partisipasi atau kesempatan memperoleh
pendidikan adalah rasio atau perbandingan antara masukan pendidikan (raw input)
atau jumlah penduduk yang tertampung dalam satuan-satuan pendidikan. Keberadaan
masalah ini dapat diketahui dari individu-individu yang mestinya menjadi
peserta didik pada satuan pendidikan tertentu tetapi kenyataannya tidak
demikian. Misalnya saja di berbagai daerah masih banyak anak-anak yang mestinya
menjadi peserta didik pada satuan pendidikan TK tetapi belum menjadi bagian
dari satuan pendidikan tersebut. Hal demikian tentunya akan menimbulkan masalah
pada saat mereka masuk sekolah dasar. Demikian juga banyaknya individu lulusan
SMA yang tidak melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi. Untuk bekerja
mereka belum memiliki bekal yang mamadai.
2.1.2 Masalah efisiensi pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan berkenaan dengan proses
pengubahan atau transformasi masukan produk (raw input) menjadi produk
(output). Salah satu cara menentukan mutu transformasi pendidikan adalah
mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikian (educational wastage), dalam
arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yang putus sekolah,
meng-ulang atau selesai tidak tepat waktu.
Jika peserta didik sebenarnya memiliki potensi yang
memadai tetapi mereka tidak naik kelas, putus sekolah, tidak lulus berarti ada
masalah dalam efisiensi pendidikan. Masalah efisiensi pendidikan juga terjadi
di perguruan tinggi. Masalah tersebut dapat diketahui dari adanya para mahasiswa
yang sebenarnya potensial tetapi putus kuliah dan gagal menyelesaikan
pendidikannya pada waktu yang tepat.
2.1.3 Masalah efektivitas pendidikan
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan
rasio antara tujuan pendidian dengan dengan hasil pendidikan (output), artinya
sejauh mana tingkat kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang
dihasilkan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pendidikan merupakan
proses yang bersifat teleologis, yaitu diarahkan pada tujuan tertentu, yaitu
berupa kualifikasi ideal. Jika peserta didik telah menyelesaikan pendidikannya
namun belum menunjukkan kemampuan dan karakteristik sesuai dengan kualifiksi
yang diharapkan berarti adalah masalah efektivitas pendidikan.
1.1.4
Masalah relevansi pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan
yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di
atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja
Dari ke empat masalah pendidikan sebagaimana
disebutkan di atas, hanya masalah partisipasi yang sekarang mengecil. Hal ini
disebabkan karena semakin meningkatnya warga masyarakat akan pentingnya
pendidikan dan semakin banyaknya satuan-satuan pendidikan yang didirikan untuk
memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Sedangkan ketiga masalah pendidikan
berikutnya, yaitu masalah efisiensi, efektivitas, dan relevansi sampai sekarang
masih terjadi dan ada kecenderungan bahwa masalah-masalah pendidikan tersebut
semakin besar. Ketiga masalah pendidikan tersebut tidak saling terpisahkan.
Masalah efiseinsi berpeluang menimbulkan masalah efektivitas, dan selanjutnya
berpeluang pula menimbulkan masalah relevansi.
Masalah pendidikan di Indonesia merupakan masalah
yang serius. Bukti untuk hal itu dapat disimak dari peringkat Human Development
Index (HDI) yang dipantau oleh UNDP yang menunjukkan kualitas pendidikan di
Indonesia dari tahun 1996 bearada pada eringkat 102 dari 174 negara, tahun 1999
peringkat 105 dari 174 negara, dan tahun 2000 peringkat 109 dari 174 negara dan
dalam prestasi belajar yang dipantau oleh IAEA (International Association for
the Evaluation of Educational Achievement) di bidang kemampuan membaca siswa
SD, Indonesia berada pada urutan ke-26 dari 27 negara; kemampuan matematika
siswa SLTP berada di urutan 34 dari 38 negara; kemampuan bidang IPA siswa SLTP
berada pada urutan ke 32 dari 38 negara.
Ada
beberapa cara mengatasi masalah-masalah Pendidikan seperti tersebut di atas,
antara lain:
1.
Tenaga Kependidikan sebagai figur utama
proses pendidikan
Masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan
merupakan masalah yang sangat mendesak untuk mendapatkan pemecahan. Sebab jika
masalah tersebut dibiarkan agar lahir generasi-genarasi penerus yang yang tidak
bisa diandalkan untuk menghadapi kompetisi global. Jika hal demikian
betul-betul terjadi maka bangsa Indonesia akan semakin terpuruk.
Upaya memecahkan masalah pendidikan hendaknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem. Dengan pendekatan ini pendidikan dipandang sebagai suatu sistem, suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan.
Upaya memecahkan masalah pendidikan hendaknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem. Dengan pendekatan ini pendidikan dipandang sebagai suatu sistem, suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan.
Dari berbagai komponen system pendidikan, yaitu :
peserta didik (raw input), instrumental inpu,t termasuk di dalamnya tenaga
kependidkian, dan environmental input, dari perspektif manajemen pendidikan
komponen tenaga kependidikan merupakan komponen yang penting untuk dibahas.
Sampai sekarang dan juga untuk waktu-waktu yang akan datang figur tenaga
kependidikan, termasuk para guru, kepala sekolah, dosen, dan pimpinan perguruan
tinggi merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan meskipun
konsep yang dianut sekarang adalah pendidikan berpusat pada peserta didik.
Fakta menunjukkan bahwa meskipun raw input berkualitas tetapi jika ada masalah
pada tenaga kependidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas akan
menyebabkan rendahnya kualitas output .
2.
Tenaga kependidikan sebagai manajer pendidikan
Tenaga kependidikan, terutama kepala sekolah atau
pimpinan institusi pendidikan merupakan manajer-manajer pendidikan. Sebagai
manajer pendidikan tugas utama mereka adalah mengupayakan agar kegiatan
pendidikan dapat menghasilkan tujuan-tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien, melalui proses yaitu manajemen pendidikan.
Menurut Terry (Ngalim Purwanto, 2006: 7), manajemen adalah suatu proses tertentu yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya. Jika proses tersebut dilakukan dalam bidang pendidikan dan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan maka disebut sebagai manajemen pendidikan.
Menurut Terry (Ngalim Purwanto, 2006: 7), manajemen adalah suatu proses tertentu yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya. Jika proses tersebut dilakukan dalam bidang pendidikan dan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan maka disebut sebagai manajemen pendidikan.
Manajemen merupakan inti dari administrasi (Ngalim
Purwanto, 2006: 8). Sedangkan administrasi pendidikan adalah proses pengerahan
dan pengintegrasian segala sesuatu, baik personil, spiritual, maupun matrial,
yang bersangkuta paut dengan pencapaian tujuan pendidikan (Ngalim Purwanto,
2006: 3). Dengan demikian setiap tenaga kependidikan berperanan sebagai
administrator. Dan sebagai administrator dirinya harus mampu berperan sebagai
manajer pendidikan.
3.
Masalah pendidikan dan kualitas
manajemen pendidikan
Dari perspektif manajemen pendidikan, masalah
pendidikan dapat terjadi jika kepala sekolah dan juga para guru tidak mampu
menjadi manajer-manajer pendidikan yang baik. Masalah tersebut bisa saja
terjadi karena : a. dirinya tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai
konsep-konsep manajemen pendidikan, b.dirinya kurang memahami konsep-konsep
dasar pendidikan, dan c. dirinya tidak atau kurang memiliki kemampuan dan
karakteristik sebagai manajer pendidikan, sehingga tidak mampu menjalankan
peran sesuai dengan statusnya. Masalah kualitas manajer pendidikan seperti itu
bisa terjadi karena kesalahan dalam penempatan. Seorang yang sebenarnya belum
atau tidak siap untuk menjadi pemimpin karena faktor tertentu dia diangkat
menjadi kepala sekolah.
Masalah-masalah pendidikan juga dapat terjadi jika
para pemimpin institusi pendidikan lebih banyak menempatkan dirinya sebagai
kepala dan bukan sebagai pemimpin. Sebagai kepala mereka bertindak sebagai
penguasa, hanya bertanggung jawab pada pihak atasan, dan melakukan tugas-tugas
karena perimintaan atasan. Jika kepala sekolah lebih banyak bertindak sebagai
kepala maka dirinya akan kesulitan memberdayakan semua personal yang ada agar
tujuan pendidikan tercapai.
4.
Solusi terhadap masalah pendidikan
dengan manajemen kinerja guru
Jika masalah-masalah pendidikan disebabkan oleh
faktor manajemen maka upaya yang paling tepat untuk mencegah dan mengatasi
adalah dengan meningkatkan kualitas manajemen pendidikan. Kualitas manajemen
dapat meningkat jika para manajer-manajer pendidikan berusaha untuk
meningkatkan kemampuannya.
Seringkali terlontar pernyataan bahwa kualitas
pendidikan sulit untuk ditingkatkan karena kurangnya dukungan dana. Namun ada
fakta yang menunjukkan bahwa dana yang cukup bahkan lebih ternyata tidak
berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan. Hal demikian dapat terjadi
karena kepala sekolah tidak atau kurang mampu memberdayakan semua sumber yang
ada, khususnya
sumber daya manusia. Demikian juga halnya dengan peranan guru di sekolah
sebagai manajer pendidikan, hambatan yang terjadi adalah kurangnya kemampuan
untuk memberdayakan semua sumber belajar yang ada agar tujuan pendidikan dapat
tercapai. Untuk mengatasi masalah di atas salah satu upaya yang dapat ditempuh
adalah melalui peningkatan manajemen kinerja kepala sekolah dan guru. Dalam
perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai
standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance
management) yang baik.
2.2
Relevansi antara
Pendidikan dengan Dunia Kerja
Era digitalisasi yang menjadi ciri khas dalam
industrialisasi harus diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia
agar memiliki daya saing yang tinggi. Era ini juga sering disebut sebagai era
globalisasi, yang menurut Suyanto (2001: 25) sebagai era yang berkerangka
tulang persaingan bebas, berdarah daging kekuatan sumber daya manusia dan
rohnya adalah mutu pada berbagai aspek tatanan. Dalam masyarakat terbuka
dituntut manusia unggul agar dapat survive dalam kehidupan yang penuh
ketidakpastian dan kompetisi ketat.
Pengembangankualitas
SDM komponen utamanya adalah pendidikan, namun pada kenyataannya masih
menghadapi permasalahan, diantaranya mutu pendidikan yang masih rendah. Menurut
Ginandjar Kartasasmita (1996:299-300), mutu pendidikan dikaitkan dengan perubahan
yang cepat di dunia kerja. Di dunia kerja saat ini menuntut seseorang mempunyai
kompetisi tinggi sesuai dengan perubahan jenis pekerjaan dan perkembangan
teknologi, informasi dan komunikasi. Siapapun yang mempunyai daya saing dan
kompetensi tinggi, dialah yang dapat mengisi lowongan pekerjaan yang bergengsi
(bankir, apoteker, dokter, lawyer, ekonom, teknorat, dosen, peneliti).
Mutu pendidikan
sebagai suatu proses belajar mengajar cirinya adalah yang dididik akan lebih
mampu menyesuaikan diri dengan dunia kerja, memiliki keterampilan intelektual
untuk menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Pendidikan berbasis mutu
merupakan sinergi antara organisasi yang sehat dan manajemen aktif, yang
menghasilkan mutu proses pembelajaran, mutu lulusan dan mutu pelayanan. Mutu
juga dikaitkan dengan relevansi lulusan pendidikan, produk yang dihasilkan dari
institusi pendidikan apakah mempunyai nilai kompetensi yang tinggi atau rendah
dalam menghadapi persaingan global yang sangat ketat ini. Di sinilah perlunya link and match yang pernah dicetuskan
oleh mantan Menteri Pendidikan dan Pengajaran Wardiman Djojonegoro.
2.2.1 Rendahnya Tingkat Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Dunia Kerja
Kualitas pendidikan
masih rendah berkolerasi dengan tingkat kompetensi, yang mengakibatkan jumlah
pengangguran terus bertambah. Investasi di bidang pendidikan masih terlalu
mahal terutama bagi masyarakat miskin, akibatnya tidak dapat mengakses
pendidikan yang bermutu (identik dengan biaya tinggi). Masyarakat miskin
sebagian masih menilai bahwa pendidikan terlalu mahal, dan belum memberikan
manfaat yang signifikan dengan sumber daya yang dikeluarkan. Oleh karena itu
pendidikan belum menjadi pilihan investasi bagi masyarakat miskin.
Mutu lulusan rendah
dan tidak sesuai dengan dunia kerja yang tersedia . terjadilah pengangguran
intelektual yang setiap tahun terus bertambah, dan tragisnya tenaga kerja yang
temat SD paling banyak berasal dari masyarakat miskin. Kondisi rendahnya
tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja berarti tidak ada link
and match seperti yang pernah
dicetuskan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Pengajaran Wardiman Djojonegoro.
Pengangguran
dari lulusan merupakan hal yang memang harus diantisipasi setiap lembaga
pendidikan, agar makna pendidikan
di mata masyarakat memiliki arti sebagai sesuatu yang berguna serta bermanfaat
dalam memasuki dunia kerja. Salah satu upaya untuk itu, harus ada relevansi
antara pendidikan dengan kondisi dunia kerja yang terus mengalami perkembangan
semakin ketat.
Sebelum kita ulas lebih jauh, mari kita kaji tentang makna atau arti dari relevansi. Secara umum, arti dari relevansi adalah kecocokan. Relevan adalah bersangkut paut, berguna secara langsung (kamus bahasa Indonesia). Relevansi berarti kaitan, hubungan (kamus bahasa Indonesia). Menurut Green (1995: 16), relevansi ialah sesuatu sifat yang terdapat pada dokumen yang dapat membantu
pengarang dalam memecahkan kebutuhan akan informasi. Dokumen dinilai
relevan bila dokumen tersebut mempunyai topik yang sama, atau berhubungan
dengan subjek yang diteliti (topical relevance).
Sebelum kita ulas lebih jauh, mari kita kaji tentang makna atau arti dari relevansi. Secara umum, arti dari relevansi adalah kecocokan. Relevan adalah bersangkut paut, berguna secara langsung (kamus bahasa Indonesia). Relevansi berarti kaitan, hubungan (kamus bahasa Indonesia). Menurut Green (1995: 16), relevansi ialah sesuatu sifat yang terdapat pada dokumen yang dapat membantu
pengarang dalam memecahkan kebutuhan akan informasi. Dokumen dinilai
relevan bila dokumen tersebut mempunyai topik yang sama, atau berhubungan
dengan subjek yang diteliti (topical relevance).
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan arti secara sederhana mengenai relevansi, yaitu suatu kondisi
yang mengalami kesesuaian atau kecocokan dengan kondisi yang lain. Yang
menuntut akan terjadinya sinkronisasi atau keterdukungan dari suatu kondisi
terhadap kondisi yang lain
kita ambil contoh, mengenai pendidikan di Perguruan Tinggi dengan dunia kerja. Artinya, ada suatu harapan ketika seorang lulusan dari perguruan tinggi ketika terjun dalam dunia kerja. Pengetahuan yang telah didapat dari Perguruan Tinggi diharapkan mampu menjadi bekal atau modal ketika memasuki dunia kerja. Bekal dalam arti apa yang telah di perdalam dalam perguruan tinggi mampu menjadi pendukung setiap profesi yang di geluti.
kita ambil contoh, mengenai pendidikan di Perguruan Tinggi dengan dunia kerja. Artinya, ada suatu harapan ketika seorang lulusan dari perguruan tinggi ketika terjun dalam dunia kerja. Pengetahuan yang telah didapat dari Perguruan Tinggi diharapkan mampu menjadi bekal atau modal ketika memasuki dunia kerja. Bekal dalam arti apa yang telah di perdalam dalam perguruan tinggi mampu menjadi pendukung setiap profesi yang di geluti.
Pengertian yang kedua, bahwa jenjang pendidikan yang
telah ditempuh di perguruan tinggi sesuai atau tidakkah dengan profesi yang
telah dijalankan ketika memasuki dunia kerja. Misalnya, lulusan Sarjana Hukum
setidaknya
profesi yang geluti adalah sebagai seorang hakim, pengacara, notaris, atau
lainnya yang berkaitan dengan hal itu. Lulusan ekonomi, minimal berprofesi
sebagai akunting, sekretaris, manajer, dll yang sejenis.
Mengenai relevansi
antara pendidikan
di perguruan tinggi dengan dunia kerja, ada beberapa aspek yang perlu di
kaji. Baik mengenai seberapa mendukungkah perguruan tinggi dalam mempersiapkan
lulusan yang memiliki bekal untuk terjun ke dunia kerja, seberapa banyakkah
daya dukung perguruan tinggi dalam mempersiapkan lulusan yang mampu sesuai
dengan realitas dunia kerja, dan ada atau tidakkah peran serta perguruan tinggi
dalam memberikan pengetahuan yang bisa diterapkan dalam dunia kerja.
Beberapa aspek kajian yang menjadi masalah ketika
kita membicarakan masalah relevansi antara pendidikan dengan dunia kerja ini berkenaan dengan rasio antara
tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan
pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara
kuantitatif maupun secara kualitatif.
Dalam rangka
meningkatkan relevansi pendidikan diperlukan pengembangan kurikulum yang
relevan dengan pangsa pasar/dunia kerja. Investasi juga dilakukan untuk
pengembangan satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah, dan
pendidikan nonformal, dan pendidikan tinggi. Pendidikan kejuruan, vokasi, dan
profesi membutuhkan professional lebih tinggi, dan perlu ada penguatan agar
lulusannya dapat memenuhi tuntutan lapangan kerja dan standar kualifikasi kerja (Isjoni, 2006).
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan
dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan
teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi
juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu,
yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap
untuk bekerja. Realitas lain mengenai relevansi ini, ternyata masih adanya
lulusan Perguruan Tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan kualifikasi
pendidikan yang ada. Misal, masih adanya lulusan FISIP yang justru menjadi
tenaga pendidik, lulusan pertanian pun ada yang juga menjadi pendidik. Yang
kalau kita telaah secara ilmu kependidikan mereka sangat asing atau belum
memahami secara menyeluruh.
Kita kembali ke atas, mengenai
tiga aspek yang diulas dalam makalah ini bahwa dapat di tarik suatu pernyataan
bahwa memang pendidikan sangat mendukung dalam hal pengetahuan untuk menciptakan
lulusan yang siap dalam dunia usaha. Kedua, jika ditanya seberapa besarkah daya dukung tersebut, tentu
banyak faktor yang memang harus dibenahi jika kita ingin mengharapkan daya
dukung yang maksimal dari pendidikan. Dan ketiga, ada atau tidakkah peran pendidikan, ini bisa kita jawab ketika kita mampu
menyimpulkan dua pernyataan di atas bahwa otomatis keberadaan pendidikan untuk menjadi pendukung dalam
mempersiapkan lulusan untuk terjun dalam dunia kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar